Selasa, 19 Januari 2010

Mencegah Sekularisasi Pancasila

Maklumat keindonesiaan yang digagas dalam simposium nasional bertema ''Restorasi Pancasila'' di Fisip UI pada 30-31 Mei 2006 dan dibacakan Todung Mulya Lubis pada peringatan Hari Lahir Pancasila, menarik dicermati. Maklumat itu menegaskan Pancasila bukanlah agama dan tak satu agama pun berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila. Maklumat juga menegaskan keluhuran sosialisme dan keberhasilan material yang diraih kapitalisme.




Kita tidak tahu ada apa di balik penegasan itu. Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidup-an yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme --yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan antiagama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila--- justru diagung-kan. Demikian juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan 'setengah' antiagama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global --yang bertentangan dengan nilai Panca-sila-- malah dipuja-puja.

Vision of state

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila antiagama, atau agama harus disingkirkan dari 'rahim' Pancasila. Karena agama diakui, dilindungi, dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya.

Dengan nilai dan visi ketuhanan, arah Indonesia bukanlah negara sekuler, juga bukan sosialis-komunis maupun kapi-talis-liberal. Sangat ganjil dan aneh jika agama --khususnya Islam-- hendak disingkirkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendomi-nasi. Hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, maklumat atau logika-logika sejenisnya hanyalah tafsiran nisbi, bahkan (maaf) sangat absurd. Tapi selalu dipaksakan segelintir orang kepada ma-yoritas rakyat di negeri ini. Aneh, me-mang, mereka memaksakan tafsirannya atas kebenaran. Bahkan memonopoli tafsiran itu dan dipaksakan kepada orang lain.

Ini bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tapi, bagi mereka, justru ini merupakan bentuk konsistensi, konsistensi menolak Islam. Karena itulah, hubungan antara agama --khususnya Islam-- dengan negara tak pernah solid karena adanya pihak yang terus-menerus membentur-kan agama dan negara.

Ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, mereka berteriak lantang bahwa demok-rasi kompatibel dengan Islam. Tapi giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran sendiri yang (maaf) sudah klise.

Cara berpikir seperti ini tentu picik dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi, vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak?

Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri bahwa demokrasi hanyalah jargon kaum kapitalis-sekuler untuk mempertahan-kan kepentingan mereka.

Sekularisasi Pancasila


Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang menda-hului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6). Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang diba-ngunnya bukanlah negara sekuler.

Karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama.

Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka) --sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006-- seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkannya.

Apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengan-cam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Mari jujur melihat fakta. Pertama, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan-urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai.

Kedua, sebagai agama yang menole-ransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa peng-aturan urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing. Islam menjamin kebe-basan mereka untuk menjalankan syariat agamanya.

Ketiga, bilamana syariat Islam --dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme atau sosialisme-- diadopsi suatu negara yang memiliki warga negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapan syariat Islam --sebagaimana juga produk hukum lain dari ideologi kapitalis ataupun sosi-alis-- yang bersifat mengikat dan memak-sa semua warga negara, adalah hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri.

Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Ma-sing-masing pemeluknya bebas menja-lankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indo-nesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa: pertama, Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Kedua, Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen. Ketiga, hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma
sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa
yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang
bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.

Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan
oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau
sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan
sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif
menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional
yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan
penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat
manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang
monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma
dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral
keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus,
sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I
Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan
pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi
yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang
tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek.
Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang
berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak
dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia,
yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang
menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas
bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak
cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas
dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si
seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan
tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan
keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan
pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (sishankamrata).

Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah
diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka
seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak
mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata
kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera.
Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi
kedaulatan dan keadilan pada rakyat.

Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata
ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format
atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih
baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar
kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik
itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan
tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan
dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab
tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu
gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran
bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi
berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik
sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan
reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya
penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus
menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan.
Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat
menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek
dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya
pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa
ketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.


HARI LAHIR PANCASILA, 1 JUNI 1945

Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam kedudukan sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang "lahirnya" Pancasila. Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.

Meskipun telah menjadi dasar negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.

Tetapi ternyata pihak neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus "diselesaikan" dan "dipendhem jero", bukan hanya Republik Proklamasi yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.

Dengan melalui segala cara dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih dahulu dari Bung Karno.

Tetapi kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya.

Tapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.

Apalagi bersamaan dengan kampanye "menghabisi" Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk melaksanakan Pancasila "secara murni dan konsekuen". Padahal di balik kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.

Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.

Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.

Untuk itu dalam himpunan ini, selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta, dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.

Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi pidato "Lahirnya Pancasila" beserta rangkaian uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Hukum


Dalam Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung pada tanggal 29 mei 1945 s/d 1 juni 1945, Pancasila diterima sebagai dasar Negara dari suatu Negara yang akan didirikan. mememememememememememem Melalui proses yang terjadi dalam sidang BPUPKI, suatu panitia kecil yang diketuai Ir. Soekarno dengan melibatkan wakil-wakil dari kelompok Islam dan Nasionalis, disepakati sebuah konsesnsus nasional yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang oleh Dr Sukiman disebut gentleman agreement. Piagam inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal Pembukaan UUD 1945, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang didahului dengan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki konstitusi, yang didalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu : Adanya perlindungan terhdap hak asasi manusia ; Adanya susunan ketatanegaraan Negara yang mendasar ; Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. Seperti kita ketahui UUD 1945 berlaku untuk seluruh wilayah Negara Indonesia dalam dua kurun waktu : pertama : 17 agustus 1945 sampai 27 desember 1949 dan kedua : 05 juli 1959 sampai sekarang. Dalam pada itu ketika berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 desember 1949 sampai 17 agustus 1950, UUD 1945 hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia, sedangkan antara 17 agustus 1950 sampai 05 juli 1959 berlaku UUDS 1950.

UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali, setelah Konstituante RI tidak berhasil (menetapkan) Undang-Undang Dasar yang tetap untuk diberlakukan di Negara Indonesia, sehingga dengan demikian posisi UUD 1945 dimaklumatkan sebagai UUD tetap dengan menggantikan posisi UUDS 1950. Karena tidak berhasilnya konstituante RI membuat UUD dan Negara dinyatakan dalam keadaan darurat, maka pada tanggal 5 juli 1959 dikeluarkan Kepres RI no 150/1959 tentang Dekrit Presiden kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia no 75 tahun 1959). sesuai dengan UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan, Pancasila tercantum dalam pembukaan alinea ke empat, dengan rumusan :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusian Yang Adil Dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat rumusan Pancasila merupakan bagian UUD 1945 atau merupakan bagian hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, mengandung segi poitif dan segi negative. Segi positifnya ialah, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh Negara), sedangkan segi negatifnya ialah, Pembukaan dapat diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Dalam pada itu, apabila Pembukaan berada di luar UUD 1945, Pancasila tidak dapat dipaksakan berlakunya, sedangkan substani yang terdapat di dalamnya tidak dapat diubah berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945, keluarlah ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998 Tentang Pencabutan Ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang Pengesahan Pancasila Sebagai Dasar Negara.

Sebagai Pertimbangan dapat dikemukakan, bahwa Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditegaskan posis dan peranannya dalam kehidupan bernegara. Yang perlu dikemukakan ialah bahwa Ketetapan MPR-RI No.II/1998 tersebut mempunyai catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kettapanini sebagai berikut : Bahwa dasar Negara yang dimaksud dalam Ketetapan ini didalamnya mengandung makna idialogi nasional sebagai cita-cita dan tujuan Negara. Dengan demikian, selain sebagai dasar Negara, Pancasila mngandung makna sebagai ideologi nasional; dan sebagai ideolgi nasional Pancasila merupakan cita-cata dan tujuan negara.

Arti Pengembangan Hukum

Hukum sebagai aturan tingkah laku dapat tertulis dan dapat pula tidak tertulis. Yang dimaksud dengan hukum tertulis ialah serangkaian aturan tingkah laku manusia yang diterapkan oleh instansi yang berwenang, sedangkan hukum tidak tertulis ialah serangkaian aturan tingkah laku manusia yang berupa hukum adat dan konvensi. Sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan MPR-RI No.II/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Pengaturan Perundangan, Pasal 2, tata urutan peraturan perUndang-Undangan Republik Indonesia ialah :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

7. Peraturan Daerah

Sejak adanya Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi-muatan konstitusi hanya dapat diatur dalam UUD 1945 dan Perubahan terhadapnya. Ini berarti bahwa materi-muatan konstitusi tidak dapat diatur dalam peraturan PerUndang-Undangan yang lebih rendah, apakah itu yang bernama Ketetapan MPR atau Undang-Undang dan peraturan lainnya. Oleh karna itu sebaiknya ketetapan MPR mengatur kebijakan (beleidsregeling) yang akan diatur lebih lanjut ole Presiden dalam membuat berbagai macam keputusan. masalah berikutnya yang perlu diberikan catatan ialah Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, yang dalam ketetapan MPR-RI No III / MPR / 2000 berada di bawah Undang-Undang. seperti diketahui, istilah peraturan pemerintah (sebagai) pengganti Undang-Undang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. dalam ayat (1) tersebut dikatakan : Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa atau dalam keadaan darurat Presiden dapat membuat dan mengeluarkan peraturan yang berisi materi - muatan Undang-Undang. akan tetapi, karena situasi yang genting atau dalam keadaan darurat, tidak mungkin dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.

Seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Perubahan Pertama/o Pasal 20 dan pasal 21, peraturan yang diberi nama Undang-Undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, Presiden dan DPR adalah pembentuk Undang-Undang (wetgever). Suatu ketika, Negara dalam keadaan genting (darurat) ; dalam situasi genting tersebut diperlukan adanya sebuah Undang-Undang (materi - muatan yang diatur dengan Undang-Undang). Kalau ditempuh prosedur biasa, akan diperlukan waktu yang lama, sedamgkan keadaan sudah demikian rupa yang memerlukan pengaturan segera. Melihat hal-hal tersebut, pembuat Undang-Undang Dasar (grondwetgever) memberi hak kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang itu harus dicabut. Dari uraian di atas hukum tertulis meliputi berbagai macam bentuk, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Peraturan Daerah. Yang menjadi petanyaan ialah, apa yang dimaksud dengan pengembangan. Perkataan pengembangan berasal dari kata kembang. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, perkataan kembang mempunyai bermacam arti : membuka lebar-lebar, membentangkan ; menjadikan besar (luas, merata, dsb) ; Menjadikan maju (baik,sempurna,dsb) Dalam pada itu perkataan pengembangan, mengandung arti proses cara, perbuatan pengembangkan.

Apa bila arti-arti tersebut dihubungkan dengan tulisan ini, ialah mengembangkan dalam arti menjadikan maju, baik atau sempurna. Dengan demikian pengembanga hukum mengandung arti menjadikan hukum tertulis maju, baik atau sempurna, baik dilihat dari prosesnya atau caranya, maupun dilihat dari substansinya. Kalau hal itu di hubungkan dengan Undang-Undang atau peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, proses atau cara pembuatan atau penetapanya harus maju, baik atau sempurana. Kalau semula, rencana Undang-Undang selalu berasal dari pemerintah,maju baik tau sempurna berarti, DPR dapat mengajukan usul inisiatif rancangan Undang-Undang. Kalau dulu Presiden berhak tidak mengundangkan Undang-Undang, maju baik atau sempurna mengandung Arti : Dlam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebu disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan (Perubahan Kedua UUD 1945, atas Pasal 20)

Pancasila Sebagai Paradigma

Seperti telah dikemukakan diatas, proses perumusan Pancasila sebagai dasar telah melibatkan berbagai komponen bangsa yang menjadi anggata, baik di BPUPKI maupun di PPKI. Walaupun setelah jatuhnya Soeharto sebagai Presiden RI kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dipermasalahkan oleh berbagai kelompok masyarakat, ternyata substansi yang terdapat dalam Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998, yaitu Pancasila sebagai dasar Negara dan Pancasila sebagai idiologi Nasional, merupakan cita-cita dan tujuan Negara yang masih dipertahankan.Yang menjadi pertanyaan ialah apa makna Pancasila Sebagai Paradigma atau dapatkah Pancasila menjadi kerangka atau pola berpikir bangsa Indonesia? Seperti telah dikemukakan, Pancasila adalah dasar Negara, artinya ia adalah landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Dalam pada itu makna idiologi nasional mengandung arti cita-cita dan tujuan Negara.

Oleh karena itu sebagai negara hukum, setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum tertulis yang akan dibentuk (ditetapkan) juga harus berlandaskan dasar Negara, seperti tercermin dalam sila-silanya. Dengan demikian subtansi hukum tertulis yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Sekurang-kurangnya subtansi produknya tidak bertentangan dengan Pancasila, dalam istilah hukum politik bahwa subtansinya merupakan perwujudan/penjabaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan karakter hukum responsive, artinya untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat.


Pancasila Sebagai National IdentityĆ¢


Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupam masyarakat, lebih optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.

Sayangnya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara tidak dƂ ifungsikan secara maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda. Pengaruh kekuasaan orde baru yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai Ć¢€simbol, Ć¢€ dan upaya memperkuat kekuasaannya. Menjadikan sosialisasi P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) hanya mampu menghasilkan generasi cerdas penghafal nilai-nilai Pancasila dan para penatar ahli. Selain tidak mampu mengamalkannya, justru mereka sendiri yang mencedrainya. Tidak heran jika peningkatan pengetahuan tentang Pancasila seiring dengan tidakan korupsi dan ramainya pelanggaran hak-hak kemanusiaan. Belum lagi implementasi demokrasi Pancasila sebagai icon orde baru, masih sangat jauh dari sistem demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat.

Tidak jauh beda dengan perilaku pemerintahan era reformasi. Pancasila dibiarkan tenggelam dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya jauh dari wacana publik, Pancasila dianggap sebagai simbol orde baru semakin dilupakan oleh penguasa termasuk elit politik kita. Eforia demokrasi yang tidak terkendali juga semakin mengaburkan nilai-nilai Pancasila.

Realitas tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan upaya penguatan Pancasila sebagai dasar negara. Lebih khusus lagi bagi upaya menjaga lestarinya NKRI di bumi persada. Kehadiran Pancasila tidak sekedar sebagai ideologi atau patron setiap warga negara, landasan bersama (common platform) atau sering juga disebut Ć¢€˜kalimatun sawaĆ¢€™. Pancasila merupakan Ć¢€national identityĆ¢€ yang berperan mewadahi berbagai peredaan maupun konflik yang seringkali muncul dalam sub budaya nasional.

Minimal ada dua hal urgensi Pancasila dalam konteks sekarang ini, hal tersebut bisa di lihat dalam konteks internal dan eksternal. Pertama, aspek internal yang teridiri dari tiga hal mendasar: (1) buruknya nama baik Pancasila oleh sejarah masa lalu mengharuskan adanya upaya serius untuk perbaikan; (2) dampak otonomi daerah telah melahirkan sentimen etnik dan provinsialisme yang semakin menguatkan kecendrungan pada local-nationalism; dan (3) sejak Pancasila tidak lagi menjadi asas tunggal dalam setiap organisasi manapun. Tidak hanya melahirkan dikotomi antara Pancasila dan landasan organisasi khususnya pada tingkat pendukungnya (grass root), meski terlihat dalam tingkat wacana. Juga penguatan eksistensi Pancasila kurang dioptimalkan sebagai agenda utama atau common platform dalam kehidupan organisasi.

Kedua, aspek eksternal khusunysa pengaruh globalisasi. Selain dampak positif, globalisasi juga menawarkan sekian banyak pengaruh, bukan hanya disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bisa mengakibatkan memudarnya identitas dan jati diri bangsa. Nilai-nilai Pancasila yang mendasar seperti Ć¢€gotong-royongĆ¢€, secara tidak langsung telah banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai individualisme yang sangat liberal. Segalanya serba Ć¢€uangĆ¢€ telah mewarnai setiap transaski sosial, politik apalagi aspek ekonomi. Dominasi gaya kapitalis dengan seperangkan ide-ide dan nilai yang tidak sesuai dengan budaya bangsa juga semakin marak. Gaya pornografi yang semakin mewarnai berbagai media merupakan salah satu contoh kongkrit.

Tidak ada kata terlambat bagi suatu perubahan dan perbaikan, apalagi itu menyangkut keselamatan bangsa dan keutuhan NKRI. Kesempatan ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk melakukan revitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila. Berupaya semaksimal mungkin untuk memperkuat kesadaran hidup berbangsa dalam setiap aspek kehidupan.

Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara sudah final. Simbol pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus di jaga. Mengharuskan tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila mesti terus di suarakan, memulihkan nama baiknya. Dengan membumikan susbstansi dan nilai yang dikandungnya. Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, tentu jauh dari kekeliruan, hanya para aktor yang seringkali menyalahgunakannya. Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila bukan didasari romantisme historis dan kerinduan belaka terhadap masa lalu. Tapi, suatu fakta riil akan pentingnya identitas nasional dalam membingkai dinamika yang kompleks.

Demokrasi yang sedang kita jalankan, harus diarahkan untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI. Demokrasi harus sesuai dengan kultur bangsa, tidak perlu berkiblat kepada Amerika Serikat, Eropah dan negara demokrasi lainnya. Demokrasi di negeri ini tetap berdasarkan ideologi negara Pancasila, yang sangat menghargai kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong royong yang selama menjadi ke-khasan budaya bangsa. Demokrasi yang dilaksanakan sebisa mungkin menghargai kearifan lokal dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, selama itu bermanfaat buat pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai masyarakat yang religius, peran keberagamaan yang iklusif dan moderat menjadi sangat penting untuk mendorong penguatan nilai-niali Pancasila. Keberagamaan berwawasan Pancasila dan UUD 1945 secara transformatif berdasar alur bahwa agama mayoritas harus tetap melindungi kaum minoritas, keberagamaan inklusif harus disejajarkan berdasar kepentingan-kepentingan masyarakat. Membendung geliat ekstrimisme agama (radikalisme atas nama agama) yang tumbuh selama ini secara nyata telah menjadi ancaman berkembangnya nilai-nilai pancasila dan integrasi nasional.

Eksis-nya Pancasila dalam setiap perubahan yang terjadi, banyak tergantung dari cara kita mengimplementasikannya. Hanya satu pilihan, Pancasila harus terus dilaksanakan secara konsisten sebagaimana apa yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani (1986), Karena Pancasila bukanlah berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga memiliki Ć¢€jiwa dinamisĆ¢€.

Untuk itu, minimal ada dua hal penting yang perlu dilakukan dalam menempatkan Pancasila sebagai ideologi perubahan. Pertama, Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup berbangsa idealnya tumbuh dan dipraktekkan dalam setiap aktivitas masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus terus digelorakan, tidak terkecuali internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran terhadap Pancasila sebagai identitas nasional minimal jadi mainstream-nya.

Kedua, sikap konsisten dari berbagai elemen bangsa. Pemimpin dan elit politik di negeri ini harus menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Tidak sekedar menjadi penghias dan pemanis bibir, tapi perlu langkah kongkrit. Menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, harus mampu melawan berbagai bentuk kemusyrikan. Bangsa ini tidak perlu menghamba kepada negara manapun, harus lebih yakin kreatifitas sendiri dan pertolongan Tuhan untuk bisa lebih maju. Sila kemanusiaan harus mampu menghentikan merajalelanya situasi yang tidak manusiawi. Manfaatkan cinta Persatuan Indonesia untuk membangun rasa nasionalisme dan patriotisme bangsa yang sudah mulai menurun. Sila permusyawaratan harus dikedepankan dalam konteks demokrasi yang sudah mulai keluar dari koridor dan harapan rakyat. Tidak kalah pentingnya sila keadilan sosial, dalam memperkuat solidaritas dan integrasi sosial dan menutup peluang disparitas atau kesenjangan sosial ekonomi yang selama ini tumbuh di tengah masyarakat.

Ideologi Pancasila harus bisa menjadi ideologi pembebasan masyarakat dari berbagai bentuk ketertindasan dan berbagai predikat yang cukup Ć¢€memalukanĆ¢€ lainnya. Selain kemiskinan yang telah membelenggu masyarakat Indonesia dalam derita berkepanjangan. Indonesia juga masih harus berjuang untuk membersihkan d88iri dari praktek korupsi, seiring dengan usaha pemerintah dalam memperbaiki sistem demokrasi yang belum memberikan pencerahan (kesejahateraan) kepada masyarakat. Termasuk juga upaya pembangunan ekonomi nasional yang selama ini mengalami banyak hambatan. Semoga.


Ideologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah Pancasila dijadikan ideologi atau dasar negara coba baca teks Proklamasi berikut ini.

Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik.

Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.

Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)

Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.

Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan

Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.

Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.

Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.

Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:


Pancasila Sebagai Kenyataan Hidup Dalam Masyarakat Indonesia – Platform Perjuangan Tamansiswa



Perjuangan setiap bangsa mengalami pasang surut, demikian pula perjuangan bangsa Indonesia. Dewasa ini perjuangan bangsa Indonesia sedang dalam tahap surut yang bukan main dalamnya. Di dalam negeri terjadi perpecahan yang cukup gawat, sedangkan dari luar negeri terjadi gangguan dan bahkan ancaman bertubi-tubi sekalipun tidak dalam bentuk fisik murni.

Kita mencanangkan perlunya Reformasi di segala bidang kehidupan yang memang sudah lama diperlukan untuk membawa perjuangan bangsa kembali ke jalur yang semestinya untuk mengarah kepada tujuan nasional kita. Namun dalam Reformasi itu tidak selalu kita dapat mengendalikan perkembangan yang terjadi. Sebagaimana jalannya pendulum, kalau sebelum Reformasi letak pendulum terlalu jauh ke kanan akibat kepemimpinan nasional yang terlalu berpegang pada faktor kekuasaan, sekarang dalam Reformasi dan adanya kebebasan pendulum itu bergerak terlalu jauh ke kiri. Seakan-akan kebebasan mengakibatkan kehidupan demokrasi yang kebablasan sehingga juga merugikan perjuangan bangsa.

Dalam keadaan demikian perlu kita kembali kepada Dasar Negara yang sudah kita sepakati sejak berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945, yaitu PANCASILA. Menjadi harapan semoga Tamansiswa serta seluruh keluarga besarnya menyertai kesadaran demikian dan secara aktif mengusahakannya.

Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat

Ketika Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan bahwa Republik Indonesia yang akan diproklamasikan memerlukan Dasar Negara yang kokoh dan kemudian mendapat persetujuan para Pendiri Negara untuk menjadikan usulnya yang diberi nama Pancasila Dasar Negara itu, maka sejak itu bangsa Indonesia mempunyai satu landasan atau Weltanschauung yang membedakannya dari bangsa-bangsa yang lain di dunia.

Dalam perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya Pancasila telah berperan amat besar dan bahkan menentukan. Dampak utama Pancasila sebagai Dasar Negara RI adalah bahwa hingga sekarang Republik Indonesia masih tetap berdiri meskipun selama 55 tahun harus mengalami ancaman, tantangan dan gangguan yang bukan main banyaknya dan derajat bahayanya. Pancasila telah menjadi pusat berkumpul (rallying point) bagi berbagai pendapat yang berkembang di antara para pengikut Republik sehingga terjaga persatuan untuk menjamin keberhasilan perjuangan. Pancasila juga memberikan pedoman yang jelas untuk menetapkan arah perjuangan pada setiap saat, terutama apabila harus dihadapi ancaman yang gawat yang datang dari luar. Pancasila juga telah menimbulkan motivasi yang kuat sehingga para pengikut Republik terus menjalankan perjuangan sekalipun menghadapi tantangan dan kesukaran yang bukan main beratnya. Dengan begitu Pancasila menjadi Identitas bangsa Indonesia. Namun ada satu kekurangan penting yang terdapat pada Dasar Negara kita, yaitu bahwa Pancasila belum menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.

Adalah amat aneh dan tragis bahwa Bung Karno sebagai pencetus Pancasila dalam menjalankan pemerintahannya malahan melanggar nilai-nilai Pancasila ketika menerapkan Demokrasi Terpimpin serta berbagai pengaturan politik dan ekonominya. Akibatnya adalah bahwa Bung Karno tidak berhasil menjadikan Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia.

Kemudian dalam masa Orde Baru Presiden Soeharto memang dapat menggolkan diterimanya Eka Prasetya Panca Karsa dalam MPR, diikuti dengan penyelenggaraan Penataran Pancasila secara luas oleh BP7. Akan tetapi politik pemerintah yang memaksa semua organisasi politik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, justru bertentangan dengan Pancasila yang seharusnya merupakan ideologi terbuka. Itu semua tidak menjadikan Pancasila kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Justru Pancasila didiskreditkan karena namanya digunakan untuk menutupi perbuatan dan tindakan yang melanggar nilai-nilai Pancasila. Antara lain berakibat bahwa Demokrasi Pancasila menjadi ejekan dan buah tertawaan karena sama sekali tidak ada demokrasinya.

Meskipun Pancasila selama 55 tahun berdirinya Republik Indonesia telah disalahgunakan oleh banyak penguasa, namun bagian terbesar rakyat Indonesia tetap menganggap Pancasila sebagai Dasar Negaranya. Tanpa Pancasila tidak ada Republik Indonesia. Hanya sebagian kecil saja rakyat Indonesia yang tidak menghendaki Pancasila karena terpengaruh oleh gagasan-gagasan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu menjadi kewajiban kita untuk mengatasi kelemahan yang masih ada dan secara sungguh-sungguh serta mantap mengusahakan agar Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat. Justru ketika bangsa Indonesia mengalami tahap surut yang demikian parah usaha itu amat penting. Sebab dalam keadaan begitu terbuka peluang bagi mereka yang tidak menghendaki Pancasila untuk memaksakan gagasan mereka menjadi landasan hidup bangsa Indonesia.

Kita harus mengusahakan agar dalam masyarakat Indonesia nilai Ketuhanan Yang Maha Esa makin kuat, karena itulah landasan spiritual dan moral bagi perjuangan. Dengan landasan demikian perjuangan kita akan lebih ulet dan tahan terhadap setiap tantangan. Untuk itu kehidupan beragama harus dilakukan lebih mendalam dan tidak hanya dipandang dari sudut ritual belaka. Sekarang ada kemajuan bahwa mesjid, gereja dan pura makin banyak dikunjungi warga masyarakat. Namun ternyata bahwa faktor kuantitas ini belum diimbangi dengan faktor kualitas yang memadai. Itu terbukti dari perilaku banyak anggota masyarakat yang jauh sekali dari nilai spiritual dan moral yang tinggi. Rendahnya mutu kendali diri umpamanya merupakan indikasi dari kurangnya kualitas spiritual bangsa.

Demikian pula nilai-nilai lain masih perlu sekali terwujud dalam kehidupan yang nyata. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab harus makin meningkatkan perwujudan Hak-Hak Azasi Manusia serta kepedulian sosial. Persatuan Indonesia harus memperlihatkan makin berkembangnya kesempatan bagi setiap daerah untuk mengatur dirinya dengan pelaksanaan otonomi yang luas; sebaliknya makin kuat persatuan antar-daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak terjadi disintegrasi nasional. Kerakyatan atau Demokrasi sekarang memang sedang meningkat sejak Reformasi, termasuk kebebasan atau kemerdekaan pers. Namun yang terjadi malahan kebablasan yang merugikan masyarakat pada umumnya ketika perorangan atau golongan tertentu terlalu memanfaatkan kebebasan untuk kepentingannya sendiri. Keadilan Sosial masih sangat perlu diwujudkan, antara lain dalam bidang ekonomi melalui perwujudan kekuatan ekonomi rakyat yang meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Ini baru beberapa cuplikan dari hal-hal yang harus kita usahakan agar Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam masyarakat.



Mengembalikan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa



Pada 1 Juni 1945, Soekarno mengajukan rumusan dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila, dasar negara dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. 1 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.

Pancasila telah mengalami perjalanan satu generasi. 64 tahun. Dalam kurun waktu tersebut banyak peristiwa sejarah yang dihadapi oleh Pancasila. Salah satu peristiwa sejarah yang paling terkenal adalah tantangan terhadap Pancasila berupa G30S/PKI. Peristiwa yang lain yang mewarnai perjalanan Pancasila adalah penetapan P4 oleh MPR tahun 1978, kemudian penetapan Pancasila sebagai azas tunggal dan pencabutan Tap MPR tentang P4 dan penghapusan azas tunggal.

Penetapan P4 dan azas tunggal merupakan bentuk formalisasi Pancasila yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai perwujudan kediktatoran pada masa itu. Akan tetapi, formalisasi Pancasila tersebut tidak mampu melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Akibatnya, walaupun penataran P4 dilaksanakan terus – menerus, Pancasila tetap tidak tertanam dalam jiwa Bangsa Indonesia. Pancasila tidak mampu menjadi pandangan hidup bangsa.

Banyaknya korupsi, manipulasi anggaran dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh pejabat dan aparat merupakan bukti bahwa mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam berpancasila pun gagal menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup mereka.

Menekan masyarakat dalam berpolitik, mencurangi pemilu secara sistematik dalam pemilu selama Orde Baru juga merupakan perwujudan dari pengkhianatan kepada Pancasila. Orde Baru telah melakukan formalisasi Pancasila dan menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menakut-nakuti masyarakat. Alih-alih melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap warga negara, pemerintah Orde Baru justru membuat Pancasila menjadi hantu bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak mampu menjiwai Pancasila.

Kini, marilah kita kembalikan esensi Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Formalitas Pancasila tidak kita perlukan lagi. Justru pengejawantahannya dalam kehidupan kita sehari-harilah yang perlu kita wujudkan.

REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA





(Upaya Untuk Mengatasi Disintegrasi Kehidupan Bangsa)

PENGANTAR

Pemaparan makalah ini menyajikan suatu gambaran bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dalam perkembangannya secarta konstitutional dihadapkan situasi tidak kondusif sehingga kredibilitasnya diperdebatkan. Realita ini adalah akibat dari pemahaman dan penerapan Pancasila yang lepas dari asumsi-asumsi dasar filosofinya. Berbagai sikap dilontarkan secara sinis justru ketika persatuan sangak kita butuhkan untuk mendasari pluralitas etnis dan keberagaman agama. Makalah ini secara historis-konstektual mencermati latar belakang Pancasila sebagai dasar negara, tahapan perkembangan, dan penegasan makna revitalisasi.

LATAR BELAKANG KELAHIRAN PANCASILA

Paham kebangsaan secara fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo (1908), gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java dan sebagainya (1920), Pemuda Indonesia (1925) kemudian disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah semenjak lahirnya paham kebangsaan bukanlah cetusan tekad para pejuang bangsa, melainkan strategi yang kelak menjadi ideologi perjuangan untuk merdeka.

PERKEMBANGAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari melalui pembentukan BPUPKI dan PPKI. Generasi Soekarno-Hatta menunjukan ketajaman intelektual dengan merumuskan gagasan vital seperti yang tercantum di Pembukaan UUD 1045 dimana Pancasila ditegaskan sebagai kesatuan integral dan integratif. Prof. Notonagoro sampai menyatakan Pembukaan UUD 1945 adalah dokomen kemanusiaan terbesar setelah American Declaratiom of Independence (1776).

Isi Pembukaan UUD 1945 adalah nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di dalamnya merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif.

Pancasila bertolak belakang dengan kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak realitas keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945,yaitu :

1. Tahun 1945-1948 merupakan tahap politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada nation and character building. Semangat perstuan dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman dalam negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis dominan, perlu upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan aksiologiknya sebagai raison d’etre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)

Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan “Pancasila sebagai asas tunggal”, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan nasional sebagai suatu state building.

2. Tahun 1969-1994 merupakan tahap pembangunan ekonomi sebagai upaya mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi menjadi “ideologi”

Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI, tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidakmerataan pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang mengancam pada disintegrasi bangsa.

Distorsi di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana pelakasanaan “Pancasila secara murni dan konsekuen” harus ditunjukkan.

Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi negara “ibu” yaitu Uni Sovyet dan ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara satelit mulai memisahkan diri untuk mencoba paham demokrasi yang baru. Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat semakin meluas seolah menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.

3. Tahun 1995-2020 merupakan tahap “repostioning” Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi.

Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh sebelum abad ke-20 sekarang, yaitu secara bertahap, berawal “embrionial” di abad 15 ditandai dengan munculnyanegara-negara kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan aufklarung.

Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu proses dalam kesadran manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkana kenyataan obyektif globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu, “menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks.

Menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir baru kita jadikan pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Pancasila mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki “mitosnya” tersendiri yaitu semua yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir secara teknis-positivistik dan pragmatis semata.

MAKNA REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat politik semata. Demikian pula di Orde Baru yang “berideologikan ekonomi”, Pancasila dijadikan asas tunggal yang dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai Mandatoris MPR.

Kini terjadi krisis politik dan ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.

Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan menemukan landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :

Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein.

Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok lebih baik.

Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka tunggal Ika”

Revitalisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

ARTI PENTINGNYA PERAN PENDIDIKAN TINGGI

Dalam upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara maka disiapkan tenaga dosen yang mampu mengembangkan MKU Pancasila untuk mempersiapkan lahirnya generasi sadar dan terdidik. Sadar dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti generasi yang mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar dalam mengembangkan Pancasila.

Hanya dengan pendidikan bertahap dan berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk, yaitu yang mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual, kepatuhankepada nilai-nilai (it is matter of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana yang selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being).

Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama. Sekuat-kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.

Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara dalam format MKU, kita berpedoman pada wawasan :

1. Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi

2. Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek having

3. Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme

4. Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia yang “terbuka”.

KESIMPULAN

Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.

Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada para mahasiswa sekarang.